HATA MANDAILING DI DUNIA DATAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Santabi sapulu sapulu noli marsantabi tu adopan ni mora ja na kahanggi, songoni juo tu barisan ni anak boru. Inda lupa muse hami nian patidaon bontar ni ate-ate dohot jop ni roha tu ita sasudena na rap lagut di pantar bolak na datar on.

Jati diri Mandailing dapat dilihat dari berbagai aspek, misalnya bahasa yang digunakan, adat istiadat, kesenian, dll. Sebagai warisan leluhur yang sangat berharga, kebudayaan Mandailing sudah sepatutnya kita pelihara dan kembangkan dengan baik guna memperkuat jati diri itu sendiri, terlebih-lebih di era globalisasi ini. Sehubungan dengan itu, pembuatan group HATA MANDAILING DI DUNIA DATAR didasari oleh 2 hal: (1) pesan ompung kita Mangaradja Ihoetan yang menulis buku Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing (Pewarta Deli, Medan, 1926). Dalam pengantarnya pada buku itu, Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun “…hanjalah kadar djadi peringatan dibelakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaanja dengan moedah maoe menghapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnya”; (2) warga masyarakat (suku-bangsa) Mandailing sekarang semakin banyak yang tidak pandai bahasa (hata) Mandailing terutama di perantauan; padahal Hata Mandailing merupakan syarat utama untuk dapat memahami adat-istiadat dan budaya Mandailing.

Arana ni i mada, aropdo roa nami anso martoruk ni abara nian sude koum-sisolkot nami rap ra menyuratkon aha sajo na bisa ita baen satontang tu BAHASA, SENI, dan BUDAYA MANDAILING, maksudna mangangkat Jati Diri Mandailing ke pentas dunia berbasis "kearifan lokal". Ini juga untuk menyahuti kalimat "Think Globally Act Locally".

Pondok ni obar, parjolo do ami mandok tarimo kasi tu koum-sisolkot (songoni juo namanyolkoti) na rap ra margugu dison pagabe group taon. Sindoki : ”TAMPAR MARSIPAGODANGAN”, ima pituah ni ompung-ompungta na jumolo sundut i. Botima ... Horas Mandailing !!!

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Tim HMD3
Tano Doli
18 Juni 2009

===========================

HATA (BAHASA) MANDAILING

ORANG (ALAK) MANDAILING sebagai salah satu kelompok etnik di Indonesia, yang mendiami pedalaman pesisir pantai barat daya di Pulau Sumatra, juga memiliki BAHASA IBU yaitu HATA MANDAILING (Bahasa Mandailing). Menurut budayawan Z PANGADUAN LUBIS, secara tradisional Bahasa Mandailing terdiri dari lima ragam: (1) HATA SOMAL, ialah ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari; (2) HATA ANDUNG, yaitu semacam ragam Bahasa Sastra, yang pada masa dahulu khusus digunakan pada waktu meratapi jenasah dalam upacara kematian (disebut: MAMBULUNGI) dan seorang gadis yang meratap di hadapan orang tuanya pada saat akan berangkat meninggalkan mereka untuk selanjutnya dibawa ke rumah keluarga calon suaminya; (3) HATA TEAS DOHOT JAMPOLAK, adalah ragam bahasa caci-maki yang khusus digunakan ketika terjadi hal-hal yang tidak baik (pertengkaran atau perkelahian); (4) HATA SIBASO, ialah ragam bahasa yang khusus digunakan oleh tokoh SIBASO (medium perantara alam nyata dan alam gaib) ketika berada dalam keadaan kesurupan ("trance") dan juga digunakan oleh DATU (penyembuh tradisional) pada waktu melakukan pengobatan; dan (5) HATA PARKAPUR, yaitu ragam Bahasa Sirkumlokusi yang dahulu digunakan oleh orang-orang Mandailing pencari kapur barus ketika berada di dalam hutan.

Pangaduan Lubis menambahkan, bahwa di samping kelima macam ragam Bahasa Mandailing tersebut, pada masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu lagi ragam bahasa lain yang dinamakan HATA BULUNG-BULUNG (Bahasa Daun-daunan). Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam Hata Bulung Bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam Bahasa Mandailing disebut BULUNG-BULUNG. Dedaunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam Bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama HADUNGDUNG digunakan untuk menyampaikan perkatan DUNG (setelah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama SITATA digunakan untuk menyampaikan perkataan HITA (kita); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama SITARAK digunakan untuk menyampaikan kata MARSARAK (berpisah); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama SITANGGIS (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan TANGIS (menangis); dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama PAU (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata DIAU (pada saya); daun tumbuh-tumbuhan yang bernama PODOM-PODOM digunakan untuk menyampaikan perkataan MODOM (tidur). Kalau misalnya kesemua daun tersebut dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: ”dung hita marsarak jolo tangis au anso modom”. Artinya ”setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.

Umumnya pengguna HATA BULUNG-BULUNG ini adalah kaum muda-mudi (disebut NAPOSO NAULI BULUNG), terutama pada waktu mereka berpacaran. Dahulu, kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahasia. Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan HATA BULNG-BULUNG. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “SURAT CINTA” kepada kekasihnya, dia harus melakukannya secara rahasia. Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “SURAT CINTA” yang terdiri dari daun-daunan tertentu.

next see: http://gondang.blogspot.com/2010/07/bahasa-ibu-kita.html